Padamu aku telah jatuh cinta. Padanya kau pun telah jatuh cinta. Namun seperti kata Harper Lee si penulis tua itu, aku sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang sesiapapun. aku tidak pernah mengetahui bagaimana dua hati itu dapat saling membaca. Tentang bagaimana kau mencintai wanita yang setitik syurga dapat kau baca darinya, wanita yang cantik dan hati yang lembut luar biasa. Berlebihankah aku mendeskripsikannya? Karena bagiku wanita itu pastilah begitu yang dengan begitu aku mencintaimu yang mencintainya.
Kau tidak pernah percaya bahwa dengan menatapmu aku dapat jatuh cinta berkali-kali. Bahkan dengan mengingat baumu aku telah membendung rindu yang menyesakkan. Namun lucunya kau percaya tentang cinta yang tak mampu kau kurangi seembun pun padanya dan itu membuatku tertawa. Sungguh saat kau ceritakan cerita yang sangat sedikit tentang dirinya, aku merasa mampu mencintainya dengan ketulusan yang sama sepertimu. Kudoakan ia akan kebahagian dan kasih sayang dan agar tak sedikitpun segala sesuatu dapat melukai hati kecilnya.
Saat menuliskan ini aku tengah membongkar kenangan-kenangan yang didalamnya kertas-kertas terlipat tak rapi. Kertas-kertas itu bercerita tentang perjalanan, tentang selamat tinggal, tentangmu dan tentang bukan dirimu. Aku menyukai perjalanan seperti anak kecil yang menyukai coklat dan eskrim. Kunikmati tiap hitungannya sambil mengingat-ingat ingatan-ingatan kecil yang jika kususun sama sekali tak menceritakan apapun. Lalu dedaun, bunga liar dan pohon-pohon berlalu berlarian di luar jendela. Namun awan tetap pada tempatnya yang dari jauh sana melirik terang-terangan ke perjalanan ini. Sesekali ia berubah bentuk dari bentuk yang tak mampu kupecahkan menjadi bentuk yang masih tak bisa kujelaskan. Di suatu titik tiap perjalanan selalu memiliki akhir. Dan setiap akhir itu memulai lagi perjalanan lain dengan cara dan kisah yang nyaris serupa.
Tidakkah menurutmu akhir juga adalah sebuah kata perpisahan? Karena hari itu diam-diam aku mengucapkannya. Kau tidak tau, tentu. Karena kau pun sepertiku, kita sama-sama tidak dapat saling membaca hati. Namun mengingat nya terlalu lucu, betapa aku telah jatuh cinta padamu ribuan kali dan mengulangnya ribuan kali di dalam hati. Lalu di pagi hari yang berembun aku kerap melukiskannya di udara lalu ia menguap ditiup angin tipis siang. Cinta itu menurutku telah menjadi tahap kegilaan. Aku mulai memikirkan melakukan segala sesuatu bersamamu, membayangkan segala rencana dan melibatkanmu di dalamnya, membeli hal-hal dengan mempertimbangkan seleramu, menuliskan puisi-puisi melankolis sambil membayangkan kehadiranmu. Kegilaan ini telah berubah konyol. Kekonyolan ini telah berubah tidak waras.
Menghapus segala ingatan tentangmu sama mudahnya dengan mencintaimu lagi. Kemudahan ini terkadang menjadi begitu rancu. Karena saat diam-diam aku melupakanmu, dengan terang-terangan aku mencintaimu sekali lagi. Tapi tenang saja, aku hanya mencintai saja. Tidak berniat memiliki apapun dari mu. Tidak juga berpikir sedikitpun untuk menyakiti hatinya. Aku mencintaimu dan aku telah mampu mencintainya. Maka pilihan itu begitu sederhana. Kalian akan menuju altar, lalu aku akan baik-baik saja.
Aku mencintaimu. Sungguh itu saja.
Selama berhubungan teman yang kita lakukan tentu tidak lebih romantis dari yang kau dan kekasihmu lakukan, walau terkadang sedikit berlebihan sampai kuyakin jika kekasihmu tau ia akan segera menceraikanmu bahkan sebelum kalian resmi menikah. Hal yang tak lebih romantis itu juga tentu tidak menyisakan kenangan tersendiri bagimu. Mungkin lebih tepatnya hanya sebatas mimpi tak buruk yang paginya pun sudah menghilang dari ingatanmu. Sepertinya aku mendeskripsikan hubungan ini terlalu menyedihkan. Aku takut saat kuceritakan bagian (tak) romantis yang sebenarnya lalu disuatu kesempatan yang kukarang-karang cerita ini ditanyangkan di bioskop, seluruh penonton pasti akan melemparkan popcorn dan soda di tangan mereka ke mukaku yang terpajang di layar karena mereka lebih memihak pada kekasihmu yang luar biasa itu. Dan tentu seperti film kebanyakan cerita ini akan happy ending. Karena taukah kau, cerita ini dari awal telah menjadi figuran dari kisahmu dan dia. Maka tokoh utamanya bukanlah aku. Bukanlah tentang kita. Tapi kalian. Menjadi figuran itu cukup memenuhi adegan-adegan kosong dimana kau dan dia tidak sedang bersama. Namun saat scene utama kau dan dia bercumbu dan sebagainya mungkin aku sedang di belakang layar merapikan kostum atau menebalkan make-up.
*****
Kau akhirnya menikah. Di hari yang pernah kita bicarakan. Dengan kekasihmu yang pernah kau banggakan. Dengan semua rencana pertunangan, dekorasi ruang resepsi, pilihan-pilihan baju pengantin sampai jenis-jenis hidangan yang pernah kita diskusikan. Kau akhirnya menempuh langkah yang selama ini selalu kau ragukan mampu kau jalani. Tapi aku memaksamu. Aku menyuruhmu melakukannya. Dan tidak dengan alas an apapun yang ingin kau menangkan, aku menyeretmu ke langkah paling besar dalam hidupmu, menikahi perempuan yang telah kau janjikan ia sebagai kekasihmu dari beberapa tahun yang lalu. Tidakkah menurutmu perempuan itu telah pantas kau berikan bukti nyata dari komitmen yang dulu pernah kau janjikan padanya? Nikahilah ia,kataku padamu malam itu.
Di hari pernikahanmu yang serba sempurna itu aku yakin senyuman tipismu itu tetap ada. Wajah merekah dan pipi merona dari perempuan itupun pasti cantik sekali. Aku yakin ia akan membuat iri seluruh ruangan sehingga mereka kerap sekali mengatakan betapa beruntungnya kau mendapatkan perempuan secantik dan sesempurna ia. Pihak keluarga, saudara dan semua rekan kalian yang hadirpun akan mendoakan segala hal baik dan segala kesempurnaan sepanjang hidup kalian. Tidakkah hidupmu akan jauh lebih baik setelah ini?
Permainan ini telah terlalu melelahkan. Dan aku kalah. Perjalanan ini tiba-tiba tidak lagi menyenangkan untuk dilanjutkan dan perahu dayungan ini harus mengubah rute perjalanan kearah yang bukan kau. Malam itu kau sibuk menghubungi sampai akhirnya menyerah dan mengirimkan satu pesan singkat, “kau dimana? Kenapa tidak datang? This is my big day!”
Aku penat. Tidakkah kau?
Semoga bahagia.